Rabu, 17 April 2013

HAK ASASI MANUSIA



 HAM(Hak Asasi Manusia)


        Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada hakikatnya “Hak Asasi Manusia” terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.
Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.
SEJARAH INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya “Bill of Rights” di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
“The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world.”
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.
SEJARAH NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban.
Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.

Sejarah
LPHAM yang didirikan oleh H. J. C. Princen dan Yap Thiam Hien pada 29 April 1966 sebenarnya dipersiapkan untuk menghadang upaya sporadik pemerintah orde baru yang melakukan pembunuhan, penangkapan dan tindakan kejahatan HAM lainnya terhadap simpatisan anggota PKI dan mereka yang dituduh PKI. Salah satu dari kerja besar LPHAM dalam mengkoreksi tindakan merendahkan manusia itu antara lain desakan untuk menghentikan pembunuhan massal di Purwodadi, Jawa Tengah yang di instruksikan Presiden Soeharto, M. Panggabean dan Surono tahun 1968. Walaupun protes ini berujung pada penangkapan, Direktur LPHAM, Princen, oleh Kopkamtib dengan tuduhan komunis, namun aksi pembantaian tersebut dihentikan.
Pada tahun yang sama LPHAM bersama Goenawan Muhammad, seorang wartawan menginvestigasi dan membuat laporan tentang pelanggaran HAM di Pulau Buru. Laporan tersebut akhirnya menjadi bahan tulisan Amnesty Internasional. Selanjutnya untuk menangani para korban PKI yang mengalami trauma kejiwaannya, di tahun 1967, LPHAM menggagas berdirinya P3HB (Panitia Pusat Pemulihan Hidup Baru) yang dikelola Yap Thiam Hien.
Sempat berganti 2 hingga 3 kali pengurus, lembaga yang membidani lahirnya YLBHI (1970), INFIGHT (Indonesian Front for Defence of Human Rights, 1990), KontraS (1998) dan beberapa lembaga advokasi lain, akhirnya dibadanhukumkan sekitar tahun 1988 seiring dengan keinginan pemerintah mengendalikan LSM dengan mengeluarkan UU Ormas 1985.
Dalam perjalanan aktivitasnya, LPHAM merespon dan hampir terlibat seluruh isu dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Dalam kasus Timor Timur ditahun 1990, advokasi LPHAM membawa Princen untuk menjadi tamu kehormatan Presiden Portugal Mario Soares dengan topik pembicaraan seputar 7 orang pemuda Tim-tim yang mencari suaka dan masa depan Timor Timur. LPHAM juga melobi Y.P. Pronk, Ketua IGGI untuk menghentikan hutang luar negeri yang cenderung disalahgunakan pemerintahan Soeharto. Tak terelakan lagi, LPHAM tumbuh menjadi organisasi yang merekam hampir seluruh kejahatan kemanusiaan rezim orde baru. Dari kasus tanah (1987-1996), buruh (1989-1990-an) hingga penangkapan mahasiswa (1988). Dari kasus Papua (1975), Timtim (1975), Aceh (1989) hingga mendampingi para korban Peristiwa Priok yang di adili (1984-1986).

Perkembangan
Namun seiring dengan manajemen organisasi yang masih tradisional dan menurunnya stamina dan kesehatan Princen. Organisasi ini mulai mengambil porsi aktivitas yang sesuai dengan kapasitas kerja organisasi yang sangat ditentukan oleh mobilitas seorang Princen, dan aktivitas organisasi ini benar-benar terhenti ketika kematian menjemput mantan disertir KNIL ini 22 Februari 2004 lalu.
Walau LPHAM telah kehilangan figur sentralnya, kini revitalisasi lembaga malah sedang dilakukan antara lain dengan meredefinisi LPHAM sebagai lembaga yang sejak awal turut mempromosikan penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM dengan merefleksi kebersamaan dalam memperjuangkan HAM, demokrasi dan civil society dengan seluruh komunitas masyarakat lainnya.
LPHAM tetap berpendirian bahwa sebuah bangsa harus mengerahkan seluruh potensi dan energinya untuk mendorong tumbuhnya sebuah system politik sipil yang bersih, adil dan menolak kekerasan baik dalam bentuk struktur kultural maupun subtansi praktikal yang tercermin antara lain pada militerisme.
== Penyelenggaraan penghargaan == bersama Mengingat begitu pentingnya mendorong inisiasi dan kebersamaan perjuangan penegakan HAM di Indonesia, sejak tahun 2007 ini, LPHAM yang kebetulan dimiliki oleh para mujahid-mujahid HAM seperti Poncke dan Yap mendukung sepenuhnya inisiatif, kepeloporan dan keberanian seluruh elemen masyarakat dalam rangka perlindungan HAM dengan menganugerahkan kepada mereka sebuah penghargaan yang bernama Poncke Princen Human Rights Prize. Poncke Princen Human Rights Prize sesuai nama figur HJC Princen adalah penghargaan yang diberikan untuk orang/ lembaga yang berani mengambil inisiatif pertama kali dalam melindungi dan memajukan HAM sebagaimana Poncke Princen yang berani menjadi pioneer dalam menghentikan pembantaian purwodadi pada 1969 dan sejumlah aktivitas kemanusiaan selama hidupnya.
Penghargaan ini perlu dibuat untuk melestarikan semangat dan keberanian dalam menegakan HAM. Karena upaya penegakan HAM di Indonesia tidak hanya membutuhkan keberanian tapi juga konsistensi menempuh bahaya, sehingga benar-benar membutuhkan lebih banyak pioneer yang memperjuangkan penegakan HAM seperti yang telah dilakukan Poncke di masa lalu. Untuk alasan itu pula, penghargaan ini akan mendorong pencarian dan mendukung aktivitas pelopor penegakan HAM diseluruh tanah air setiap tahunnya secara terus menerus.
Untuk pertama kalinya yaitu tahun 2007, penghargaan ini diberikan kepada 3 pihak yang telah berani melakukan upaya promosi dan penegakan HAM yaitu: [1] Human Rights life time achievement untuk pejuang HAM, Munir (1965-2004). [2] Human Rights Promotor and Educator untuk dosen STPDN/IPDN, Inu Kencana Syafei. [3] Human Rights Campaigner untuk Liputan 6 SCTV.
Tiga nama tersebut, masing-masing telah memberikan kontribusi yang signifikan tidak saja bagi penghormatan nilai-nilai kemanusiaan tapi juga kontribusi reformasi politik dari sebuah sistem yang cenderung mengabaikan hak asasi.
Pada tahun 2008, LPHAM kembali memberikan dua penghargaan Poncke Princen Prize dengan kekhususan kepeloporan dalam bidang Hak Asasi Manusia, pertama kepada insitiatif ‘Ibu Kembar’ Sri Rosiati dan Sri Irianingsih yang telah membuat pendidikan alternatif bagi orang-orang tak mampu secara konsisten dan kontinyu terhadap pendidikan dan promosi hak asasi manusia (Human Rights Promotor and Educator) serta terhadap pemajuan HAM di Indonesia. Kedua kepada usaha Korban dan pendamping Korban Kasus Lumpur Lapindo yang telah mengungkap kebenaran atas apa yang secara jahat disembunyikan oleh pemerintah sehingga memunculkan dampak pada kampanye perlunya penghargaan terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia (Human Rights campaigner).






“Perspektif  Pelajar tentang Hak atas rasa Aman”


Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). HAM diberika kepada manusia sejak lahir dan tak ada satu orang pun yang dapat mencabutnya. Namun, bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling mendasar, yaitu hak Persamaan dan hak Kebebasan. Umumnya, para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Begitu pula yang diketahui oleh para pelajar khususnya pelajar SLTA/sederajat dan Mahasiswa.

Namun apakah para pelajar di Indonesia telah merasa Aman? Sudahkah mereka merasa Nyaman? Apakah para pelajar merasa HAM telah ditegakkan dengan baik di Indonesia?


1.)    Dalam segi Kenyamanan

 80% siswa-siswi baik SD,SMP,maupun SMA/sederajat yang telah saya survei mengatakan bahwa mereka tidak merasa nyaman melakukan kegiatan pembelajaran karena faktor Guru pengajar yang mereka pandang tidak sesuai dengan pola fikir sisa-siswi di zaman sekarang. Banyak yang mengatakan bahwa suka atau tidaknya seorang pelajar dengan mata pelajaran adalah tergantung dengan Guru yang mengajarkannya. Sedangkan 20% sisanya mengatakan bahwa faktor yang membuat kegiatan belajar menjadi tidak nyaman adalah karena mata pelajaran yang semakin banyak dan sulit. Karena seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia menjadi negara yang mempunyai mata pelajaran terbanyak di dunia.

Ada seorang siswi yang mengatakan kepada saya, “gimana mau nyaman kalau gurunya Killer? Atau cara mengajarnya tidak jelas? Bahkan terkadang jika ditanya mengenai pelajaran, sang guru malah marah-marah.”



2.)    Dalam segi keamanan
Pelajar Indonesia masih merasa kurang atau bahakn tidak aman. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya karna maraknya tawuran pelajar, pemBullyan oleh para senior, dsb. Seperti yang kita ketahui bahwa di Indonesia ini sedang marak terjadi aksi Tawuran antar pelajar yang banyak memakan korban jiwa. Juga banyak kasus yang terjadi mengenai aksi pemBullyan senior terhadap juniornya yang membuat para pelajar bahkan orangtua merasa khawatir dan merasa tidak aman.
Namun seringkali kami merasa pihak penegak hukum tidak tegas dalam menuntaskan kasus-kasus tersebut. Banyak kasus yang hanya diusut sementara dan dibiarkan berlalu begitu saja tanpa mengusut sampai ke akar permasalahan.
     

Masihkah HAM ditegakkan? Akankah kondisi di kehidupan para pelajar Indonesia menjadi lebih baik?
Kami ingin merasa aman. Kami ingin merasa nyaman. Kami berharap Hukum di Indonesia ditegakkan se Adil-adilnya tanpa memandang harta,Ras,Agama,dsb. Kami ingin pemerintah tegas menuntaskan masalah-masalah yang dirasakan oleh rakyatnya termasuk kami para Pelajar.

      Seperti pada Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi :
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

      Marilah kita tegakkan HAM di Indonesia!!! Marilah kita saling menghormati dan menghargai Hak Asasi antar sesama manusia di dunia khususnya di negara kita tercinta, negara INDONESIA. MERDEKA!!!!!

                          
Sumber:           www.PutriOctavianiharyanto.blogspot.com
wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar