HAM(Hak
Asasi Manusia)
Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada
kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti
dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang
melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka
ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada
hakikatnya “Hak Asasi Manusia” terdiri atas dua hak dasar yang paling
fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah
lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia
lainnya sulit akan ditegakkan.
Mengingat
begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap
orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis
mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan perkembangan saat ini
perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi
dirinya dengan hak asasi orang lain.
SEJARAH
INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Umumnya para
pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta
pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja
yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia
sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai
dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja
tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai
dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus
mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai
dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada
rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak
berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai
embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai
simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan
yang lebih konkret, dengan lahirnya “Bill of Rights” di Inggris pada tahun
1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama
di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan
timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan.
Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan
betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat
diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah
teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu
dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah
tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak
dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan
HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of
Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di
Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih
dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia
adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila
sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya
pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih
rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh
ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan
yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang
sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orany yang
ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai
ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia
bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan
pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang
dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan
hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak,
meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang
asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perlu juga
diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada
tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di
bawah ini :
“The first
is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is
freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world.
The third is freedom from want which, translated into world terms, means
economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime
life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from
fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of
armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be
in a position to commit an act of physical agression against any
neighbor-anywhere in the world.”
Semua
hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta
manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat
universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human
Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.
SEJARAH
NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Deklarasi
HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember
1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia
setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan
negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi
HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara)
maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan
pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa
komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam
malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania
itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing
negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi
negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian
setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara
anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang
bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan
negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan
pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui
lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan
sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun
hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub
dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku
bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta
bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama.
Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia
HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah
dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara
lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja
berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila
para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi
asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh
Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum
Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam
perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights
selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya
mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa
bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang
menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya
kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak
mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya
berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati
terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada
kewajiban.
Contoh :
seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi
kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu
dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak
perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa
dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan
masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan
masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan
tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi
tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Sejarah
LPHAM yang
didirikan oleh H. J. C. Princen dan Yap
Thiam Hien pada 29 April 1966 sebenarnya dipersiapkan untuk menghadang upaya sporadik
pemerintah orde baru yang melakukan pembunuhan, penangkapan dan tindakan
kejahatan HAM lainnya terhadap simpatisan anggota PKI dan mereka yang
dituduh PKI. Salah satu dari kerja besar LPHAM dalam mengkoreksi tindakan
merendahkan manusia itu antara lain desakan untuk menghentikan pembunuhan
massal di Purwodadi,
Jawa
Tengah yang di instruksikan Presiden Soeharto, M.
Panggabean dan Surono tahun 1968. Walaupun protes ini berujung pada penangkapan, Direktur
LPHAM, Princen, oleh Kopkamtib dengan tuduhan komunis, namun aksi pembantaian
tersebut dihentikan.
Pada tahun
yang sama LPHAM bersama Goenawan Muhammad, seorang wartawan
menginvestigasi dan membuat laporan tentang pelanggaran HAM di Pulau Buru.
Laporan tersebut akhirnya menjadi bahan tulisan Amnesty Internasional. Selanjutnya untuk
menangani para korban PKI yang mengalami trauma kejiwaannya, di tahun 1967,
LPHAM menggagas berdirinya P3HB (Panitia Pusat Pemulihan Hidup Baru) yang
dikelola Yap Thiam Hien.
Sempat
berganti 2 hingga 3 kali pengurus, lembaga yang membidani lahirnya YLBHI (1970), INFIGHT (Indonesian Front for
Defence of Human Rights, 1990), KontraS (1998)
dan beberapa lembaga advokasi lain, akhirnya dibadanhukumkan sekitar tahun 1988
seiring dengan keinginan pemerintah mengendalikan LSM dengan mengeluarkan UU Ormas 1985.
Dalam
perjalanan aktivitasnya, LPHAM merespon dan hampir terlibat seluruh isu dan kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Dalam kasus Timor Timur
ditahun 1990, advokasi LPHAM membawa Princen untuk menjadi tamu kehormatan
Presiden Portugal
Mario Soares dengan topik
pembicaraan seputar 7 orang pemuda Tim-tim yang mencari suaka dan masa depan
Timor Timur. LPHAM juga melobi Y.P. Pronk, Ketua IGGI untuk menghentikan
hutang luar negeri yang cenderung disalahgunakan pemerintahan Soeharto. Tak
terelakan lagi, LPHAM tumbuh menjadi organisasi yang merekam hampir seluruh
kejahatan kemanusiaan rezim orde baru. Dari kasus tanah (1987-1996), buruh
(1989-1990-an) hingga penangkapan mahasiswa (1988). Dari kasus Papua (1975), Timtim
(1975), Aceh (1989) hingga mendampingi para korban Peristiwa Priok yang di
adili (1984-1986).
Perkembangan
Namun
seiring dengan manajemen organisasi yang masih tradisional dan menurunnya
stamina dan kesehatan Princen. Organisasi ini mulai mengambil porsi aktivitas
yang sesuai dengan kapasitas kerja organisasi yang sangat ditentukan oleh
mobilitas seorang Princen, dan aktivitas organisasi ini benar-benar terhenti
ketika kematian menjemput mantan disertir KNIL ini 22 Februari
2004 lalu.
Walau LPHAM
telah kehilangan figur sentralnya, kini revitalisasi lembaga malah sedang
dilakukan antara lain dengan meredefinisi LPHAM sebagai lembaga yang sejak awal
turut mempromosikan penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM dengan
merefleksi kebersamaan dalam memperjuangkan HAM, demokrasi dan civil society
dengan seluruh komunitas masyarakat lainnya.
LPHAM tetap
berpendirian bahwa sebuah bangsa harus mengerahkan seluruh potensi dan
energinya untuk mendorong tumbuhnya sebuah system politik sipil yang bersih,
adil dan menolak kekerasan baik dalam bentuk struktur kultural maupun subtansi
praktikal yang tercermin antara lain pada militerisme.
==
Penyelenggaraan penghargaan == bersama Mengingat begitu pentingnya mendorong
inisiasi dan kebersamaan perjuangan penegakan HAM di Indonesia, sejak tahun 2007 ini, LPHAM yang kebetulan
dimiliki oleh para mujahid-mujahid HAM seperti Poncke dan Yap mendukung
sepenuhnya inisiatif, kepeloporan dan keberanian seluruh elemen masyarakat
dalam rangka perlindungan HAM dengan menganugerahkan kepada mereka sebuah
penghargaan yang bernama Poncke Princen Human Rights Prize.
Poncke
Princen Human Rights Prize sesuai nama figur HJC Princen
adalah penghargaan yang diberikan untuk orang/ lembaga yang berani mengambil
inisiatif pertama kali dalam melindungi dan memajukan HAM sebagaimana Poncke
Princen yang berani menjadi pioneer dalam menghentikan pembantaian purwodadi
pada 1969 dan
sejumlah aktivitas kemanusiaan selama hidupnya.
Penghargaan
ini perlu dibuat untuk melestarikan semangat dan keberanian dalam menegakan
HAM. Karena upaya penegakan HAM di Indonesia tidak hanya membutuhkan keberanian
tapi juga konsistensi menempuh bahaya, sehingga benar-benar membutuhkan lebih
banyak pioneer yang memperjuangkan penegakan HAM seperti yang telah dilakukan
Poncke di masa lalu. Untuk alasan itu pula, penghargaan ini akan mendorong
pencarian dan mendukung aktivitas pelopor penegakan HAM diseluruh tanah air
setiap tahunnya secara terus menerus.
Untuk
pertama kalinya yaitu tahun 2007, penghargaan ini diberikan kepada 3 pihak yang
telah berani melakukan upaya promosi dan penegakan HAM yaitu: [1] Human
Rights life time achievement untuk pejuang HAM, Munir (1965-2004).
[2] Human Rights Promotor and Educator untuk dosen STPDN/IPDN, Inu Kencana Syafei. [3]
Human Rights Campaigner untuk Liputan
6 SCTV.
Tiga nama
tersebut, masing-masing telah memberikan kontribusi yang signifikan tidak saja
bagi penghormatan nilai-nilai kemanusiaan tapi juga kontribusi reformasi
politik dari sebuah sistem yang cenderung mengabaikan hak asasi.
Pada tahun
2008, LPHAM kembali memberikan dua penghargaan Poncke Princen Prize dengan
kekhususan kepeloporan dalam bidang Hak Asasi Manusia, pertama kepada
insitiatif ‘Ibu Kembar’ Sri Rosiati dan Sri Irianingsih yang telah membuat
pendidikan alternatif bagi orang-orang tak mampu secara konsisten dan kontinyu
terhadap pendidikan dan promosi hak asasi manusia (Human Rights Promotor and
Educator) serta terhadap pemajuan HAM di Indonesia. Kedua kepada usaha
Korban dan pendamping Korban Kasus Lumpur Lapindo yang telah mengungkap
kebenaran atas apa yang secara jahat disembunyikan oleh pemerintah sehingga
memunculkan dampak pada kampanye perlunya penghargaan terhadap nilai-nilai Hak
Asasi Manusia (Human Rights campaigner).
“Perspektif Pelajar tentang Hak atas rasa Aman”
Hak-hak Asasi Manusia
adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak
yang bersifat kodrati). HAM diberika kepada manusia sejak lahir dan tak ada
satu orang pun yang dapat mencabutnya. Namun, bukan berarti dengan hak-haknya
itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang
dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada hakikatnya Hak
Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling mendasar, yaitu hak
Persamaan dan hak Kebebasan. Umumnya, para pakar Eropa berpendapat bahwa
lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun
1215 di Inggris. Begitu pula yang diketahui oleh para pelajar khususnya pelajar
SLTA/sederajat dan Mahasiswa.
Namun apakah para
pelajar di Indonesia telah merasa Aman? Sudahkah mereka merasa Nyaman? Apakah
para pelajar merasa HAM telah ditegakkan dengan baik di Indonesia?
1.) Dalam
segi Kenyamanan
80% siswa-siswi
baik SD,SMP,maupun SMA/sederajat yang telah saya survei mengatakan bahwa mereka
tidak merasa nyaman melakukan kegiatan pembelajaran karena faktor Guru pengajar
yang mereka pandang tidak sesuai dengan pola fikir sisa-siswi di zaman
sekarang. Banyak yang mengatakan bahwa suka atau tidaknya seorang pelajar
dengan mata pelajaran adalah tergantung dengan Guru yang mengajarkannya.
Sedangkan 20% sisanya mengatakan bahwa faktor yang membuat kegiatan belajar
menjadi tidak nyaman adalah karena mata pelajaran yang semakin banyak dan
sulit. Karena seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia menjadi negara yang
mempunyai mata pelajaran terbanyak di dunia.
Ada seorang siswi yang
mengatakan kepada saya, “gimana mau nyaman kalau gurunya Killer? Atau
cara mengajarnya tidak jelas? Bahkan terkadang jika ditanya mengenai pelajaran,
sang guru malah marah-marah.”
2.) Dalam segi keamanan
Pelajar Indonesia
masih merasa kurang atau bahakn tidak aman. Hal tersebut terjadi karena
beberapa faktor. Diantaranya karna maraknya tawuran pelajar, pemBullyan
oleh para senior, dsb. Seperti yang kita ketahui bahwa di Indonesia ini sedang
marak terjadi aksi Tawuran antar pelajar yang banyak memakan korban jiwa. Juga
banyak kasus yang terjadi mengenai aksi pemBullyan senior terhadap
juniornya yang membuat para pelajar bahkan orangtua merasa khawatir dan merasa
tidak aman.
Namun seringkali kami
merasa pihak penegak hukum tidak tegas dalam menuntaskan kasus-kasus tersebut.
Banyak kasus yang hanya diusut sementara dan dibiarkan berlalu begitu saja
tanpa mengusut sampai ke akar permasalahan.
Masihkah HAM
ditegakkan? Akankah kondisi di kehidupan para pelajar Indonesia menjadi lebih
baik?
Kami ingin merasa
aman. Kami ingin merasa nyaman. Kami berharap Hukum di Indonesia ditegakkan se
Adil-adilnya tanpa memandang harta,Ras,Agama,dsb. Kami ingin pemerintah tegas
menuntaskan masalah-masalah yang dirasakan oleh rakyatnya termasuk kami para
Pelajar.
Seperti pada Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi :
“Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Marilah kita tegakkan HAM di Indonesia!!! Marilah kita
saling menghormati dan menghargai Hak Asasi antar sesama manusia di dunia
khususnya di negara kita tercinta, negara INDONESIA. MERDEKA!!!!!
wikipedia